Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

AK Gani, Pejuang dan Pemain Film Sekaligus Dokter Perlente yang Merakyat

Minggu, 25 Februari 2024 | 7:10 PM WIB Last Updated 2024-03-05T23:09:52Z

Mayor Jenderal TNI dokter Adnan Kapau Gani atau lebih dikenal AK Gani, lahir di Palembayan Sumatera Barat pada tanggal 16 September 1905. Ayahnya adalah seorang guru di Sekolah Rakyat yang bernama Abdul Gani Sutan Mangkuto dan ibunya bernama Rabayah, namun meninggal tahun 1915 di Sugiwaras. 

        Setelah ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dengan Aminatul Habibi yang berasal dari Sungai Taleh Palembayan. Ibu sambung inilah yang mengasuh AK Gani dan keempat saudara kandungnya yaitu Rohana dan adik-adiknya yakni Anwar, Masri dan Siti Mahyar. Kemudian dari ibu sambungnya, AK Gani mempunyai delapan saudara. 

        AK Gani menyelesaikan pendidikan awalnya di Bukittinggi pada tahun 1923. Kemudian ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan menengah dan mengambil sekolah kedokteran. Adnan meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran STOVIA di Jakarta. Sayangnya, sekolah ini pada 1927 ditutup, sehingga Adnan harus melanjutkan sekolah ke AMS, sebuah sekolah setingkat SMA zaman Belanda, hingga lulus pada 1928. Setahun kemudian, Adnan masuk Sekolah Tinggi Kedokteran yakni Geneeskundige Hoge School atau GHS di Jakarta, dan baru lulus pada 1940.
        
        Sebagai pejuang, hidup Gani penuh warna. Ia menyandang banyak titel: Penyelundup Senjata dan perlengkapan militer, bekas makelar, bintang film, sutradara, wartawan, penulis drama dan puisi, dokter, menteri, hingga perwira militer tituler. 
        
        Perlu diingat, seorang Politikus yang bermain film bukanlah hal yang lumrah apalagi wajar di era AK Gani. Bahkan rekan-rekannya sempat menganggap Gani mengkhianati pergerakan ketika pada 1941 ia tampil sebagai aktor utama memerankan sosok dokter Pardi dalam film berjudul Asmara Murni. 
        
        Bahkan hal ini menjadi bahan kampanye negatif bagi lawan-lawan politiknya kala itu, seperti saat masa kampanye Partai Gerindo yang diketuai oleh AK Gani. Kekalahan Gerindo dari Parindra dianggap tak terlepas dari status AK Gani yang saat itu merupakan seorang pemain film.
Dalam kampanye pemilihan untuk Volksraad, volksraad sendiri adalah dewan rakyat bentukan belanda dimasa Hindia Belanda tepatnya era sebelum proklamasi dan perang kemerdekaan, Gerindo kalah dari Parindra karena Gani bermain film. 
        
        "Parindra menyerukan agar jangan memilih Gerindo yang ketua umumnya seorang pemain film,” tutur Mohammad Isnaeni seorang teman separtai AK Gani di Gerindo.
        
        Padahal kala itu AK Gani mengaku bermain film demi untuk membiayai kuliah kedokterannya di GHS sekaligus untuk menolong temannya yang sedang kesusahan.
        
        Beberapa hal nyentrik juga melekat pada sosok AK Gani saat itu, seperti kemana-mana naik jip dan selalu tampil necis. Sebagaimana ditulis majalah Waktu pada 21 September 1949, Letjen Hidayat Marta atmaja yang merupakan eks Panglima Komando Teritorium Sumatra, menjuluki Gani sebagai Ramon Novarronya Indonesia. Ramon Novarro sendiri adalah aktor Amerika kelahiran Meksiko yang saat itu terkenal sebagai simbol seks Hollywood.
        
        Suatu kali Gani sebagaimana dicatat Ruben Nalenan, bercerita bahwa penampilannya yang terlihat makmur itu kadang mengundang komentar iseng dari teman-temannya. Namun Ia dengan santai menanggapi:
        
        “Apa guna menjadi Menteri Kemakmuran kalau tidak sanggup bikin makmur seantero negeri, atau sekurang-kurangnya saya sendiri lebih dulu sebagai contoh.” 
        
        Semua orang yang mendengarnyapun tertawa terbahak-bahak. Mengenai penampilannya itu ia pernah berpesan kepada bekas anak buahnya, Brigjen Sunardi dengan sebuah kalimat:
        
        “Kita harus perlente dan kelihatan gagah. Sikap kerakyatan tidak terlukis dalam berpakaian.” 
        
        Tak berhenti disitu, seusai masa perang gerilya dan revolusi fisik serta setelah tidak lagi menjadi menteri, AK Gani membuka praktik dokter sesuai bidang keahliannya di Kota Palembang, dengan seringkali menggratiskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang kurang dan tidak mampu secara ekonomi. Pada tahun 1954 ia diangkat sebagai rektor Universitas Sriwijaya, dan tetap aktif serta tinggal di Sumatera Selatan sembari membuka layanan medisnya untuk masyarakat.
        
        Sayang pada 23 Desember 1968, pejuang sekaligus dokter perlente yang merakyat itu, meninggal di usia 63 tahun karena sakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Siguntang Palembang. 

       Sosoknya sendiri resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 November 2007, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama rumah sakit di Palembang, serta nama ruas jalan di berbagai kota di Indonesia. Jejak dan peninggalannya kini bisa ditemui pada sebuah museum yang didedikasikan untuknya, yakni museum dokter AK Gani yang terletak di Kota Palembang. (Prio Susanto, dirangkai dari berbagai sumber)


×
Berita Terbaru Update