Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Curup, Ibukota Sementara Sumatera Selatan dan Jejak Perang Gerilya

Rabu, 06 Maret 2024 | 6:27 AM WIB Last Updated 2024-03-05T23:40:13Z

Kantor Polisi di kota Curup, Kabupaten Redjang Lebong (Arsip Circa 1963)

Oleh: Dra. Linda Astuti, M.Si (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ratu Samban)

        21 Juli 1947, penjajah Belanda untuk kali sekian kembali melanggar Perjanjian Linggar Jati, kali ini dengan menggelar agresi militer secara serentak di Indonesia. Memang watak culas penjajah sudah berulang kali terbukti sama sekali tak layak diberi kesempatan apalagi kepercayaan.
        Di Sumatera Selatan, agresi penjajah Belanda membuat kekuatan militer dan sipil pemerintah Indonesia harus terusir dari Kota Palembang bahkan harus mundur dan berpindah-pindah ke banyak tempat. Termasuk rombongan Residen Palembang yang juga harus mundur hingga ke Lubuk Linggau pada 23 Juli 1947, dan sejak saat itu dimulailah kembali perjuangan perang gerilya dan bumi hangus di beberapa titik strategis. Perpindahan pemerintahan kemudian juga disusul oleh Gubernur Muda Sumatera Selatan Dr. M. Isa bersama Wedana M. Ali Amin. Namun saat itu Dr. M. Isa dan rombongan akhirnya memilih Curup sebagai kedudukan pusat pemerintahan sementara Sumatera Selatan. 
        Disaat hampir bersamaan juga terjadi perjanjian Renvill yang semakin menyudutkan kedudukan pemerintahan Indonesia di Sumatera khususnya Sumatera Selatan. Saat itu wilayah Sumatera Selatan sebagai bagian dari Republik, yang tersisa hanya Kewedanan Pagaralam, Kabupaten Musi Ulu Rawas ditambah sebagian kecil Kewedanan Musi Ilir, sebagian Komering Ulu dan Kewedanan Muara Dua, sementara Palembang terpisah menjadi dua yakni Palembang Utara dan Palembang Selatan, sedangkan Kewedanan Lampung dan Bengkulu masih tetap utuh.
        Dr. M. Isa akhirnya resmi diangkat sebagai Gubernur Sumatera Selatan pada pertengahan tahun 1948, bersamaan dengan penetapan 3 provinsi di Sumatera yakni Sumatera Timur, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, dengan pimpinan komisaris pemerintah pusat di Bukit tinggi. M. Isa diangkat  oleh Presiden sebagai Gubernur pertama Sumatera Selatan dengan berkedudukan di Curup. Selanjutnya diikuti dengan pelantikan anggota DPRD Sumatera Selatan pada 20 Oktober tahun yang sama, yang menggelar sidang perdana sejak hari pelantikan hingga 23 Oktober di Curup.
        Selain DPRD, beberapa badan pekerja pendukung juga dibentuk termasuk staf administrasi Kantor Gubernur Sumatera Selatan di Curup yang mempekerjakan Bupati Ghazali sebagai Kepala keuangan, Wedana M Ali Amin sebagai Sekretaris ditambah beberapa struktur pendukung dibawahnya. Saat itu Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas 4 Keresidenan yakni Palembang, Bangka Belitung, Lampung dan Bengkulu.
        Tidak hanya di Kota Curup, pemerintahan ini bahkan sempat harus berpindah-pindah seperti saat musyawarah Gubernur Sumsel di Muaraaman pada 26 Desember 1948, yang saat itu menyepakati dibentuknya Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan atau DMISS dengan dokter AK Gani sebagai Gubernur Militer. Hal ini sejalan dengan didudukinya Kota Curup oleh Belanda, yang kemudian juga memaksa Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memindahkan kedudukannya ke Kota Donok pada bulan Januari 1949. Hal ini diikuti dengan pemecahan komando pemerintahan Sumatera Selatan yang disebar tidak hanya untuk koordinasi sipil dan pemerintahan, namun juga upaya kontra propaganda politik melawan agresi Belanda.
        Maka sejak saat itu komando pemerintahan Sumatera Selatan pun dipecah dan disebar ke beberapa titik berbeda. Gubernur M Isa bersama komandan Letkol M Simbolon bermarkas di Semelako Muaraaman, sebelum akhirnya berangkat ke Uluan Jambi. Lalu markas pertama Gubernur Militer Sumatera Selatan dr. AK Gani di Muara Sahung Bengkulu Selatan, kemudian berpindah ke Muaraaman lalu pindah kembali ke Taba Atas Rejang Lebong, sebelum akhirnya menetap di Lebong Tandai atau Bengkulu Utara saat ini. Saat itu setiap komando militer yang disebar, selalu didampingi pimpinan pemerintahan sipil sebagai antisipasi atas simpang siurnya instruksi dari pemerintah pusat dan PDRI.
        Sempat terhindar dari serangan Belanda pada agresi militer pertama, Keresidenan Bengkulu dan Lampung akhirnya menjadi sasaran pada Agresi Militer kedua Belanda. Saat itu pengintaian serta penembakan dilakukan oleh pesawat-pesawat Belanda mulai dari Kota Curup, Kepahiang hingga Bengkulu. Agresi ini kemudian semakin kuat dengan datangnya kapal-kapal perang Belanda ke lepas pantai Bengkulu. Belanda sendiri akhirnya menguasai wilayah keresidenan Bengkulu sepenuhnya pada 5 Januari 1949. Hal ini diikuti dengan penyerbuan Belanda ke Muara aman pada 25 April 1949, lalu ke Lebong Tandai pada 2 Juli tahun yang sama. Hal ini dilakukan Belanda untuk mengejar dan memburu pemerintahan militer dan sipil Sumatera Selatan yang saat memang berpindah-pindah. Beruntung belanda pada akhirnya hanya mampu menguasai wilayah perkotaan, sementara kantong-kantong daerah dan pedesaaan masih dalam penguasaan para pejuang republik. 
        Peperangan panjang ini kemudian menemui titik akhir sejak perundingan antara Gubernur Militer Sumatera Selatan atas perintah PDRI dengan pihak Belanda di Muara aman pada 15 Agustus 1949. Hal ini lalu dilanjutkan dengan pertemuan lanjutan di Kota Palembang, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara Republik Indonesia dengan Belanda yang ditandai dengan pemberhentian dengan hormat 4 Gubernur Militer di Sumatera oleh Presiden RI terhitung 1 Januari 1950. Atas jasa-jasanya selama memimpin gerilya di Sumatera Selatan, rakyat Sumsel kemudian memberikan anugerah bintang gerilya berupa kalung emas 24 karat, serta gelar Pempimpin Gerilya Agung kepada dr. AK Gani. 

(Sumber: Arsip Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan, terbitan 1996 oleh Pemprov Daerah Tingkat 1 Sumatera Selatan) 
×
Berita Terbaru Update